SEJARAH PENEMUAN METODE PRAKTIS BELAJAR MEMBACA AL-QUR’AN
“METODE QIRAATI”
Sejarah penemuan dan penyusun metode baru, yakni Metode Praktis
Belajar Membaca Al-Qur’an “Qiraati” membutuhkan
perjalanan masa yang cukup lama dengan usaha, penelitian, pengamatan dan uji
coba selama bertahun-tahun. Dengan penuh ketekunan dan kesabaran Bapak H.
Dachlan Salim Zarkasyi selalu mengadakan pengamatan dan penelitian pada majelis
pengajaran Al-Qur’an di musholla-musholla, di masjid-masjid maupun majelis
tadarus Al-Qur’an. Dari hasil pengamatan dan penelitian ini beliau mendapatkan
masukan-masukan dalam penyusunan metode Qiraati, dimana hal-hal yanng dirasa
perlu dan penting untuk diketahui dan dipelajari anak-anak beliau tulis,
beserta contoh-contohnya yang kemudian di uji cobakan kepada anak didiknya.
Sehingga dengan demikian penyusunan Metode Qiraati ini bukan berupa satu paket
buku sekali jadi dari hasil ‘otak-atik akal’, melainkan dari hasil pengamatan,
penelitian dan percobaan, sehingga Metode Qiraati ini mempunyai gerak yang
dinamis sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan.
1.
AWAL
MENGAJAR NGAJI
Bermula
dari panggilan hati Bapak Dachlan Salim Zarkasyi sebagai seorang muslim untuk
mengajar ngaji (membaca Al-Qur’an) kepada anak-anaknya sendiri dan anak-anak di
sekitar tempat tinggalnya. Beliau mulai mengajar ngaji ini pada tahun 1963.
Pada saat itu beliau mengajar dengan menggunakan Kitab Turutan (Metode /
Kaidah Baghdadiyah) sebagaimana umumnya guru-guru ngaji di Indonesia. Namun
ternyata dalam mengajar dengan Kitab Turutan ini beliau merasa kesulitan
sehingga tidak diperoleh hasil yang memuaskan. Dimana anak cenderung hanya
sekedar menghafal dan tidak faham masing-masing huruf,sehingga anak tidak
membaca sendiri, tetapi harus dituntun dalam membaca Al-Qur’an.
Dari
rasa tidak puas dengan Kaidah Baghdadiyah yang diajarkan dengan cara dituntun
ini, timbul gagasan pemikiran di benak beliau bagaimana cara mengajarkan Al-Qur’an
dengan cara yang lebih mudah dan berhasil dapat membaca Al-Qur’an dengan
tartil. Untuk itu membeli buku-buku yang katanya praktis dan memudahkan orang
belajar membaca Al-Qur’an, untuk diajarkan kepada anak didiknya. Namun setelah
dipelajari tidak ada satupun buku yang dipergunakan untuk mengajar, karena
dalam buku-buku tersebut hanya diajarkan sekedar bisa membaca huruf Al-Qur’an
dengan bacaan tartil. Dan yang lebih merisaukan beliau adalah contoh-contoh
yang diberikan menggunakan bahasa jawa ataupun bahasa Indonesia, bukan dengan
bahasa Arab ataupun bahasa Al-Qur’an.
Karena
tidak ditemukan buku yang dikehendaki, tercetuslah gagasan untuk menyusun
metode yang berbeda dengan metode-metode yang sudah ada sebelumnya.
2.
AWAL
PENYUSUNAN METODE QIRAATI
Dengan dorongan keinginan hati untuk mengajarkan Al-Qur’an dengan
baik dan benar, serta dengan keberanian yang didukung oleh inayah dan hidayah
Allah, Bapak H. Dachlan Salim Zarkasyi mulai mencoba menyusun dan menulis
sendiri metode yang dikehendakinya itu. Yakni metode yang berhasil dalam
mengajar membaca Al-Qur’an yang sekaligus mudah dan disukai anak-anak.
Supaya anak-anak mudah membaca dan betul-betul mengerti serta
faham, maka oleh beliau dicobalah menulis pelajaran dengan bacaan “bunyi” huruf
Hijaiyyah yang sudah berharakat “fathah”. Dalam palajaran ini anak tidak boleh
mengeja, misalnya Alif fathah A, BA fathah BA, tetapi langsung membaca bunyi
huruf yang sudah berharakat fathah tadi, seperti : اَ
- بَ - تَ ---A----BA----TA--- dan seterusnya. Agar anak
bisa membaca dengan baik dan benar, maka sejak awal sekali anak sudah
diharuskan membacanya dengan lancar, cepat dan tepat, tanpa ada salah dalam
membaca. Dengan demikian secara tidak langsung anak harus mengerti dan faham
masing-masing huruf Hijaiyyahnya.
Demikianlah, dengan penuh kesabaran dan ketelitian, sehuruf demi
sehuruf beliau coba untuk diajarkan
kepada anak didiknya walaupun nampaknya lambat, tetapi anak-anak
betul-betul dan faham. Agar anak terlatih dan dapat membaca dengan benar, maka setiap
contoh bacaannya diambilkan dari kalimat-kalimat Al-Qur’an juga kalimat-kalimat
bahasa Arab. Setelah anak-anak lancar membaca huruf-huruf Hijaiyyah yang
berharakat fathah, kemudian dicoba dengan huruf-huruf yang berharakat kasrah
dan dhummah. Demikian pula dengan huruf-huruf yang berharakat fathah tanwin,
kasrah tanwin dan dhummah tanwin.
3.
PELAJARAN
BACAAN MAD DAN BACAAN PANJANG
Sebagai
seorang pedagang, Bapak H. Dachlan Salim
Zarkasyi sering berkelana mengunjungi beberapa kota di Indonesia untuk
memasarkan atau mengambil barang dagangannya. Biasanya pada kesempatan seperti
ini beliau manfaatkan untuk mengamati cara-cara yang digunakan oleh guru-guru
ngaji di mushola, ataupun di masjid-masjid. Ternyata, dari semua kota yang
sering beliau kunjungi ditemukan keadaan yang cukup memprihatinkan dalam
pengajaran Al-Qur’an, guru ngaji menanamkan pelajaran yang salah; yakni mengeja
dan menghafal. Juga dalam bacaan madnya banyak yang rusak (salah). Seperti,
misalnya anak-anak membaca panjang yang semestinya harus dibaca pendek, begitu
pula sebaliknya anak-anak membaca pendek yang semestinya dibaca panjang.
Dari
penelitian beliau, ternyata anak-anak kurang ‘matang’ dalam belajar bacaan
madnya, disebabkan karena gurunya kurang
waspada dalam mengajarkan bacaan mad ini. Melihat keadaan seperti ini, beliau
menganggap pentingnya pelajaran bacaan mad bagi
anak didiknya, yakni pelajaran bacaan Mad Thobi’i. Malam harinya
beliau menyusun dan menulis pelajaran mad ini, kemudian besok sorenya dicobakan
kepada anak didiknya. Manakala anak didiknya tidak mampu atau tidak faham atau
tidak mengerti, maka kertasnya disobek-sobek. Dengan penuh kesabaran beliau
mencobanya lagi dengan memberi contoh yang lebih mudah. Jika anak didiknya
dapat menerima dan mengerti sehingga dapat membacanya dengan baik dan benar,
maka kertas-kertasnya dikumpulkan. Demikianlah, beliau terus menulis dan
menyusun pelajaran semua bacaan-bacaan mad thobi’i beserta contoh-contohnya.
Contoh-contoh ini diambilkan dari Al-Qur’an dan dari kamus bahasa Arab, agar
contoh-contohnya tidak salah, maka contoh-contohnya itu ditashihkan kepada
‘ulama yang ahli bahasa Arab dan Al-Qur’an.
Akhirnya
tersusunlah pelajaran bacaan mad, yang diawali dari fathah diikuti alif,fathah
berdiri (fathah panjang), kasrah diikuti Ya sukun, dhummah diikuti wawu sukun,
serta kasrah berdiri (kasrah panjang) dan dhummah terbalik (dhummah panjang).
4.
EMPAT
SERANGKAI HURUF SUKUN
Hampir
bersamaan dengan awal penyusun Buku Qiraati pada tahun 1963 itu, Bapak H.
Dachlan Salim Zarkasyi bersama sahabatnya Ustadz Abdul Wahid membentuk jamaah
Mal-Jum (Malam Jum’at), yakni jamaah tadarus Al-Qur’an untuk orang-orang
dewasa.
Suatu
ketika saat bertadarus Al-Qur’an pada jamaah Maljum, beliau mendengar beberapa
orang membaca huruf “Lam Sukun” salah.
Ada yang membacanya dipanjangkan (ditahan lama lam sukunnya), ada pula yang
membaca menggantung atau ‘tawallud’ sehingga terdengar bunyi ‘e pepet’ (dalam
bahasa jawa), seperti Al-le, Allll......... Melihat keadaan yang demikian,
timbul pemikiran bahwa bacaan “Lam Sukun” perlu yang penting untuk diajarkan
kepada anak-anak. Kemudian beliau mencoba menulis dan menyusun pelajaran “Lam
Sukun” ini. Dalam penyusunan ini ternyata tidaklah mudah yakni lam sukun yang
dibaca jelas dan tegas. Namun dengan penuh kesabaran dan ketelitian, akhirnya
tersusunlah juga pelajaran “Lam Sukun yang dibaca jelas dan tegas”, yang
kemudian sekaligus dirangkaikan dengan pelajaran bacaan “Al Qomariyyah”.
Pelajaran bacaan Al Qomariyyah diberikan dengan tujuan untuk melatih anak
membaca sambil melihat huruf-huruf yang akan dibaca di sebelahnya
(disampingnya).
Setelah
berhasil dengan Lam Sukun, beliau mencoba dengan huruf-huruf yang lainnya. Secara
kebetulan beliau mencoba dengan huruf “Sin Sukun”, ternyata tanpa kesulitan
anak-anak langsung dapat membaca dengan mudah. Maka ditulislah contoh-contoh
bacaan yang ada huruf Sin Sukunnya. Di tengah-tengah pengenalan huruf-huruf
sukun ini, beliau menyusun pelajaran “Harfu Liin” (bacaan fathah diikuti Ya
atau wawu sukun). Hal ini sangat penting untuk diajarkan untuk kesungguhan,
karena banyak orang yang membaca Al-Qur’an bersuara AO dan AE bukan bersuara AU
dan AI, dan agar anak dapat membedakan bacaan Harfu Liin dengan bacaan Mad.
Selanjutnya
percobaan dengan huruf-huruf sukun ini dilanjutkan. Secara kebetulan pula
beliau mencoba huruf “RO Sukun”, ternyata dengan sangat mudah anak-anak dapat
membaca dengan lancar. Begitu pula dengan mencoba huruf “Mim Sukun” ternyata
tidak menemui kesulitan pula. Sekalipun ada maksud untuk mencoba huruf sukun
yang lain, ternyata dengan empat huruf sukun ini anak sudah dapat membaca
sendiri huruf-huruf sukun yang lainnya. Sehingga pelajaran huruf-huruf sukun
yang beliau tulis hanya “Empat Serangkai Huruf Sukun” saja, yakni Lam Sukun,
Sin Sukun, Ro Sukun, dan Mim Sukun. Sehingga huruf-huruf sukun tadi secara otomatis
anak-anak telah dapat membaca huruf-huruf sukun yang lain.
5.
SATU
MALAM SATU RAHASIA
Sebagaimana
manusia umumnya, suatu ketika kreativitas Bapak H.Dachlan Salim Zarkasyi
terhenti tidak ada inspirasi manakala tidak mengetahui apalagi yang harus
diperbuat selanjutnya. Perasaan ini beliau rasakan pada saat ada keinginan
untuk mencari dan menyusun pelajaran yang akan diberikan kepada anak didiknya
selanjutnya. Seperti akal dan fikirannya buntu tidak bisa menemukan jawaban.
Namun, jika Allah menghendaki semuanya akan menjadi mudah. Untuk menenangkan
fikiran dan hati yang risau, beliau mendengarkan dan mengamati anak-anak yang sedang
belajar ngaji di salah satu kota semarang. Satu persatu anak itu beliau
perhatikan dengan mendengarkan bacaan mereka. Namun sampai anak yang terakhir,
tidak ada satupun bacaan yang benar, yakni bacaan tartil menurut kaidah ilmu
tajwid. Hasil pengamatannya ini beliau sampaikan kepada guru ngaji anak-anak
tadi, “Mengapa tidak ada satupun anak-anak tadi yang membaca tartil?” namun
jawaban sungguh mengagetkan baliau, “saya tidak sanggup untuk mengajarkannya
dengan membaca tartil. Biarlah cukup anak-anak bisa membaca Al-Qur’an dulu,
nanti kalau sudah khatam dan diajari ilmu tajwid, tentu mereka akan mampu
membaca Al-Qur’an dengan tartil dengan sendirinya”. Mendengar jawaban dari
seorang guru Al-Qur’an seperti itu, jalan fikiran beliau tidak bisa menerimanya.
Apakah mengajar bacaan tartil itu sulit? Jika sulit, sulitnya dimana? Jika
jawaban seorang guru ahli Al-Qur’an demikian itu, lalu bagaimana dengan
guru-guru ngaji yang bukan ahli Al-Qur’an? Kenyataannya memang demikian, mana
mungkin dapat menghasilkan bacaan tartil jika tidak belajar ilmu tajwid.
Perasaan
dan fikiran beliau menjadi galau dan resah atas jawaban itu, bahwa “mengajar
tartil itu sulit”, sehingga terbawa dalam tidur beliau pada malam harinya.
Suatu ketika antara tidur dan jaga pada malam itu, atas petunjuk ilham dari
Allah, terpampang dihadapan beliau kunci pelajaran bacaan-bacaan tartil yang
harus diajarkan, yakni dimulai dari “Nun Sukun” yang dibaca dengung (yang dalam
ilmu Tajwid dinamakan bacaan Ikhfa). Sungguh suatu petunjuk Allah yang sangat
luar biasa. Malam yang luar biasa penuh rahasia, kata Bapak H. Dachlan Salim
Zakarsyi. Esok harinya beliau mulai menulis dan menyusun pelajaran Nun Sukun
yang semalam beliau temukan. Kemudian sorenya beliau uji cobakan dengan anak
didiknya, ternyata dengan mudah anak-anak mampu mempelajari dan membacanya
dengan baik dan benar sesuai yang dikehendaki oleh beliau. Setelah berhasil
dengan Nun Sukun, beliau mencoba dengan tanwin, yang suaranya sama dengan nun
sukun. Selanjutnya disusunlah pelajaran bacaan “Ghunnah” yang diawali dengan
“Nun bertasydid” dengnan asumsi bahwa bacaan sama dengan dengungnya Nun sukun
bertemu nun. Demikian pula selanjutnya disusun pelajaran bacaan “Mim
bertasydid” dengan asumsi bacaan dengungnya sama dengan Nun bebrtasydid.
6.
AKHIR
PENYUSUNAN BUKU METODE QIRAATI
Sebagaimana
biasa dalam menyusun pelajaran baru mesti ada sebab yang melatar belakkanginya
dan yang menjadi acuannya. Demikian pula susunan pelajaran-pelajaran
selanjutnya hingga selesainya metode. Diantaranya adalah bacaan huruf-huruf
bertasydid selain huruf Nun dan Mim yang bertasydid. Suatu ketika dalam tadarus
Al-Qur’an yang beliau ikuti banyak orang yang membaca salah, terutama dalam
membaca “Lam Bertsydid”, yaitu membacanya dengan menahan suara huruf Lamnya.
Melihat keadaan ini disusunlah pelajaran “Huruf-huruf Bertasydid” yang harus
dibaca tegas dan jelas serta cepat, yang kemudian dirangkaikan dengan pelajaran
bacaan “Al Syamsiyyah”.
Suatu
ketika ada orang yang salah membacanya : سَاُورِيْكُمْ
dengan memanjangkan bacaan “اُو
’’ nya. Sehingga tersusunlah pelajaran “اُو
” yang
dibaca pendek, yakni :اُولئِكَ Adanya pelajaran Mim sukun Bertemu
Mim, yang dibaca dengung dilatarbelakangi oleh banyaknya orang yang belum bisa
membedakan antara Mim sukun bertemu mim, dengan Mim sukun bertemu selain huruf Mim dan Ba.
Pelajaran ini diansumsikan dengan pelajaran Mim sukun atau Tanwin bertemu
dengan Mim.
Adapun
pelajaran “Nun Sukun atau Tanwin bertemu Lam dan Ro” dilatarbelakangi oleh
banyaknya orang yang membaca dengan menahan bacaan Lamnya. Kemudian pelajaran
disusul dengan pelajaran bacaan “Nun Sukun atau Tanwin bertemu dengan Wawu dan
Ya” yang dibaca idgham dengan dengung (idgham bilaghunnah). Sedangkan pelajaran
Waqaf (berhenti) di akhir ayat dilatarbelakangi oleh banyaknya orang yang salah
dalam menghentikan bacaannya, yaitu seolah-olah setiap waqaf atau berhenti
dibaca panjang. Pelajaran cara membaca “Lafazh Allah” dilatarbelakangi oleh
bacaan yang salah, misalnya رَسُوْلِ اللهِ banyak yang membaca Rosulilloh, dan
sebagainya.
Karena
ada orang yang membaca Iqlab, yaitu Nun Sukun atau Tanwin bertemu Ba salah,
maka beliau menyusun pelajaran “Nun sukun atau Tanwin bertemu dengan Ba”, yang dirangkaikan
dengan pelajaran bacaan “Mim Sukun bertemu Ba”,karena suara bacaan dengungnya
sama. Sedangkan pelajaran bacaan “Qalqalah” adalah untuk melatih agar anak-anak
dapat membaca Qalqalah denngan fasih dan benar. Akhirnya sampailah pelajaran
bacaan “Nun Sukun atau Tanwin bertemu dengan huruf Hamzah atau Alif, Ha, Kho,
‘Ain, Ghain, dan Hha” yang dibaca terang atau jelas dan tegas, sehingga
anak-anak mampu membaca Al-Qur’an dengan tartil sesuai dengan Ilmu Tajwid.
Semua itu diajarkan langsung dan praktek bacaan yang benar.
Demikianlah
semua pelajaran yang telah dapat beliau susun, kemudian dari kertas-kertas yang
telah dikumpulkan dari awal penyusunan yang telah dibendel, ternyata terkumpul
dan tersusun atas sepuluh buku. Kemudian dari susunan yang awal hingga yang
akhir, berdasarkan urutan-urutan penulisan pelajarannya, tiap bendel diberi
nomor dari satu hingga nomor sepuluh. Sehingga dengan demikian buku yang beliau
tulis ini terdiri dari sepuluh jilid. Dan untuk mempermudah dalam
mengajarkannya kepada anak didiknya, maka masing-masing jilidnya disablon dan
kemudian dibagikan kepada anak-anak didiknya. Sehingga dalam belajar,
masing-nasing anak didiknya memegang satu buku.
7.
NAMA
QIRAATI
Demikianlah, buku sablonan sepuluh jilid ini telah dipergunakan
oleh anak-anak didiknya dalam belajar membaca Al-Qur’an, namun bukunya sendiri
belum mempunyai nama. Kiranya namapun diperlukan agar mudah untuk mengingat dan
menyebutnya. Sehingga timbullah keinginan untuk memberi nama buku susunan Bapak
H. Dachlan Salim Zarkasyi.
Suatu malam ba’dal isya, beliau berjumpa denngan Ustadz Achmad
Djunaidi, kepadanya beliau utarakan keinginan untuk memberi nama buku metode
baru itu. Dan oleh Ustadz Aachmad Djunaidi diusulkan untuk diberi nama
“QIRAATI” saja. Pada esok harinya (ba’dal subuh), beliau berjumpa dengan Ustadz
Syukri Taufiq (guru dari Ustadz Achmad Djunaidi), tanpa menceritakan pertemuan
beliau dengan Ustadz Achmad Djunaidi beliau sampaikan maksudnya untuk memberi
nama buku temuannya itu. Dan ternyata Ustadz Syukuri Taufiq juga mengusulkan
untuk diberi nama yang sama, yakni
“QIRAATI”. Maka beliau pakailah nama QIRAATI untuk bukunya itu. QIRAATI
berarti “bacaanku” yang bermakna “inilah bacaanku (bacaan Al-Qur’an) yang benar
sesuai kaidah Ilmu Tajwid”.
Pada setiap acara khataman, Bapak H.Dachlan Salim Zarkasyi selalu
mengundang para ‘alim ulama (terutama khufadz), untuk khataman yang ke berapa,
Bapak H.Dachlan Salim Zarkasyi melontarkan permohonan nama untuk lembaga
pengajarannya karena selama itu tidak atau belum punya nama. Kemudian beberapa
‘ulama ahli Al-Qur’an yang hadir mengusulkan beberapa nama, namun tidak ada
satupun yang berkenan di hati beliau. Akhirnya seorang ‘ulama yakni K.H. Hilal
Sya’ban mengusulkan untuk diberi nama “RAUDHATUL MUJAWWIDIN”, dengan alasan
putra-putrinya yang telah di didik oleh Bapak H.Dachlan Salim Zarkasyi telah
mampu membaca Al-Qur’an dengan tartil sesuai kaidah ilmu tajwid. Karena tidak
bisa menolak, maka diterimalah usulan nama Raudhatul Mujawwidin. Dengan nama
ini diharapkan akan timbul cita-cita agar dalam mengajarkan Al-Qur’an tidak
hanya asal bisa membaca saja, tetapi agar mengajarkan membaca Al-Qur’an dengan
bacaan yang benar sesuai dengan kaidah tajwid, dengan tartil beserta pengertian
dan pendalamannya, sebagaimana yang telah kita peroleh dari Rasulullah Muhammad
SAW.
8.
TASHIH
DAN RESTU DARI ‘ULAMA AHLI AL-QUR’AN K.H. MUHAMMAD ARWANI AL-HAFIZH,KUDUS
Sebagai
orang salaf, Bapak H. Dachlan Salim Zakarsyi selalu berpegang teguh pada
ketawaduan beliau kepada ‘ulama ahli Al-Qur’an yang terdahulu dan yang masih
ada. Karena ketawaduannya, beliau merasa takut dan khawatir jika dipersalahkan
oleh para ‘ulama karena telah menyalahi pakem dalam mengajarkan membaca
Al-Qur’an, yaitu harus dengan menggunakan Kitab Turutan. Sedangkan beliau telah
berani menyusun metode baru yang beliau gunakan dalam mengajar Al-Qur’an.
Karena itulah, beliau tidak berani memberitahukan kepada para ‘ulama tentang
penemuan itu, bahkan kepada gurunya sendiri beliau tidak berani memberi tahu.
Melihat
hasil didikannya Bapak H.Dachlan Salim Zakarsyi, salah seorang wali murid dari
anak didiknya yakni H. Dja’far mengajak beliau untuk sowan dan dipertemukan
kepada seorang ‘ulama ahli Al-Qur’an di Kudus, yaitu K.H. Muhammad Arwani
Al-Hafizh. Dimintanya agar Bapak H.Dachlan Salim Zakarsyi membawa buku Qiraati
untuk diperlihatkan kepada K.H. Arwani.
Karena
rasa takut kalau-kalau akan mendapat “marah” dari K.H. Arwani, maka beliau
hanya tertunduk diam ketika satu persatu bukunya diteliti dan diperhatikan oleh
K.H. Arwani. Setelah lama mengamati dengan seksama dari jilid ke jilid hingga
sepuluh jilid, K.H. Arwani memberi tanggapan,bahwa maksudnya dengan buku
disusun berjilid-jilid itu adalah agar pada diri anak-anak timbul semangat
untuk berlomba-lomba dalam belajar membaca Al-Qur’an. Anak-anak saling
berlomba-lomba untuk mencapai jilid atau pelajaran yang lebih tinggi. Pada
akhirnya, dengan disaksikan oleh H. Dja’far dan K.H. Sya’roni beserta dua
putranya K.H. Arwani, dengan penuh kepercayaan memberi restu atas buku Qiraati
dengan mengatakan “kondo karo guru-guru ngaji, nek ngajar ngaji nganggo bukumu
Qiraati” (bilang sama guru-guru ngaji, kalau mengajar ngaji pakai buku kamu
Qiraati) ini perintah dari K.H. Arwani. Inilah tashih dan restu yang telah
diberikan atas buku Qiraati dari K.H. Arwanni. Dengan restu tersebut, Bapak H.
Dachlan Salim Zakarsyi merasa lega dan bersyukur, kiranya buku “Qiraati” dapat
dipergunakan oleh para guru ngaji dalam mengajarkan membaca Al-Qur’an. Kepada
guru beliau, yakni K.H. Turmudzi Taslim AH., beliau sampaikan bahwa buku
Qiraati telah di tashih oleh K.H. Arwani. Maka sejak saat itulah buku Qiraati
mulai dikenal dan dipakai oleh para guru ngaji di kota Semarang dan sekitarnya.
PERINTIS TK AL-QUR’AN
Sampai
dengan awal tahun 1986, Bapak Dachlan Salim Zakarsyi telah berhasil mendidik anak-anak
usia 7 tahun ke atas “mampu membaca Al-Qur’an dengan bacaan tartil” dengan
menggunakan Metode Qiraati. Pada waktu itulah pelajaran Qiraati dilakukan
dengan cara “sorogan”.
Suatu
ketika, pada bulan Mei 1986, Bapak H. Dachlan Salim Zarkasyi diajak oleh salah
seorang wali murid beliau Bapak Gito untuk silaturrahim ke Pondok Pesantren
Al-Qur’an anak-anak usia 4 tahun ke atas “Mambaul Hisan” di Sidayu Gresik.
Setelah menyaksikan sendiri, beliau merasa prihatin kepada anak-anak kecil yang
sudah terpisah dengan kedua orang tuanya, padahal se usia tersebut masih
membutuhkan kasih sayang atas kedua orang tuanya. Selain itu, dalam bacaan
Al-Qur’annya masih kurang tartil sebagaimana yang diharapkan. Namun, dari hasil
kunjungan beliau ke Sidayu itu, dapatlah disimpulkan, bahwa anak-anak usia
balita mampu untuk diajarkan membaca Al-Qur’an.
Sepulang
dari Sidayu, selama sebulan di bulan Ramadhan, Bapak H. Dachlan Salim Zakarsyi
menyusun kembali buku Qiraati untuk anak usia TK (4-6 tahun), yang diambilkan
dari Qiraati sepuluh jilid. Kemudian dibukalah Pendidikan Al-Qur’an untuk
anak-anak usia 4-6 tahun pada tanggal 1 Juli 1986. Sistem pengajarannya lebih
baik dari yang ada di Sidayu, serta anak-anaknya tidak perlu “mondok”, karena
tidak mondok dan yang belajar adalah anak-anak usia TK itulah, maka masyarakat
memberi nama sekolah “TK Al-Qur’an”. Dengan demikian TK Al-Qur’an RAUDHATUL
MUJAWWIDIN adalah TK Al-Qur’an yang pertama kali di Indonesia.
Sebetulnya,
awal berdirinya TK Al-Qur’an ini merupakan suatu uji coba, mungkinkah anak usia
4-6 tahun dapat diajarkan membaca Al-Qur’an dengan menggunakan Metode Qiraati,
dengan masa belajar satu jam ( dari
pukul 16.00 – 17.00) setiap hari. Pada hari pertama pembukaan jumlah muridnya
hanya ada 26b orang anak, dan tempat pendidikannya sementara meminjam rumah
orang. Setelah berjalan tiga bulan, jumlah muridnya mencapai 70 orang anak.
Karena
hanya satu percobaan, maka pendidikan direncanakan hanya empat tahun khatam
Al-Qur’an 30 juz. Namun ternyata baru berjalan tujuh bulan anak-anak sudah
mampu membaca Al-Qur’an dengan tartil. Sehingga target empat tahun ternyata
hanya ditempuh dalam waktu dua tahun saja, tepatnya pada tanggal 1 juli 1988 TK
Al-Qur’an Raudhatul Mujawwidin telah mengkhatamkan untuk yang pertama kalinya
sebanyak 20 siswa (yakni khatam denngan bacaan tartil dan bacaan gharibnya).